Selasa, 06 Desember 2011

Inggris, Pintu Gerbang Perbankan Syariah di Eropa

KALAU sempat melawat ke Inggris, mampirlah ke Edgware Road. Lokasi ini merupakan bagian dari pusat Kota London. Penduduk di Edgware kebanyakan berasal dari Arab dan Pakistan. Di tempat inilah, grup perbankan HSBC membuka kantor cabang bersistem syariah yakni HSBC Amanah.
Ketimbang negara-negara Eropa lainnya, Inggris paling dulu merealisasikan sistem keuangan syariah. Awalnya adalah kelimpahan dana dari negara-negara Timur Tengah saat harga minyak bumi meroket pada sekitar 2000-an. Jadilah, Inggris bersiap diri untuk mengolah dana ini.
Dalam catatan, jumlah penduduk London pada 2005 berada di angka 7,4 juta jiwa. Total penduduk Inggris sebanyak 60 juta orang. Dari jumlah itu, 1,8 juta jiwa beragama Islam. Pemerintah berikut industri perbankan Inggris melihat kenyataan ini sebagai pasar yang potensial.
Kekompakan pemerintah dan industri perbankan memang berbuah. Paling tidak, bank ritel macam Lloyds TSB sudah menyediakan produk-produk berbasis syariah seperti tabungan serta pinjaman untuk pembelian rumah. Lloyds TSB adalah bank kelima terbesar di Inggris.
Fakta menarik disampaikan oleh Noor Ur Rahman Abid yang juga Managing Partner Assurance & Advisory Services Ernst & Young Middle East pada Februari tahun ini. Menurut Noor, di Inggris empat hal bergandengan erat untuk memajukan perbankan syariah. Mereka adalah peran pemerintah, pengembangan institusi, aturan yang memungkinkan, serta pengembangan dan proses pembelajaran yang terus-menerus.
Sementara, masih menurut Noor, hingga 2013, investasi berbasis syariah di dunia bakal mencapai 1 triliun dollar AS. Di samping itu, terang Noor, kelimpahan minyak membuat di Timur Tengah terdapat dana High Net Worth Individual (HNWI) yang melampaui 1,4 triliun dollar AS. Juga, ada investasi Sovereign Wealth Fund (SWF) di atas 2 triliun dolar AS.
Selanjutnya, dari total angka itu, 15 persennya dialokasikan untuk transaksi menggunakan sistem keuangan Islam (Islamic transactions). Terus, 15 persen dari jumlah dana itu bernilai 500 miliar dollar AS.
Jika dihitung, dana sebesar inilah yang dapat dijadikan peluang bagi sistem syariah untuk terus-menerus dikelola. Tidak berhenti sampai di situ, boleh dibilang, pemerintah Inggris, khususnya, doyan berpromosi untuk menempatkan London sebagai pusat keuangan internasional pula. Dari situlah, produk-produk berbasis syariah, terlebih bagi warga Muslim Eropa, didorong ke garis depan.
Tiada tanggung-tanggung, pemerintah Inggris berani menghilangkan pajak ganda dalam akad murabahah atau akad jual beli yang mengutamakan kesepakatan antara tempat harga dan keuntungan antara penjual dan pembeli. Kebijakan ini membuat produk-produk syariah memiliki nilai kompetitif.
Pemerintah Inggris pun mereformasi peraturan demi mendukung perkembangan sukuk (obligasi syariah) yang kini tumbuh pesat. Jauh hari sebelum transaksi terjadi, pemerintah Inggris membuat aturan yang bersahabat bagi transaksi keuangan syariah. Langkah lainnya, melalui Financial Services Authority (FSA) atau lembaga pembuat regulasi dan pengawas sistem perbankan dan keuangan di Inggris  sebagai regulator,  memberi kemudahan sekaligus melakukan efisiensi bagi sistem keuangan Islam.
Sampai sekarang, di Inggris, terdapat tiga bank yang beroperasi penuh sebagai bank syariah dan satu perusahaan takaful. Selain itu, semua perusahaan hukum bisa menangani perkara dalam praktik keuangan Islam. Dengan segala potensi ditinjau dari sisi finansial, sosial, ekonomi serta regulasi, ada sebuah peluang besar bagi pertumbuhan yang tinggi.
Pertumbuhan yang pada ujungnya memberi manfaat bagi konsumen, sekaligus mendorong Inggris pada umumnya dan London pada khususnya, berposisi sebagai pusat keuangan Islam yang andal. (Josephus Primus, dari berbagai sumber)